Bukan Kami Tidak Mau Menyumbang, Tapi..

4 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Uang pesangon pekerja
Iklan

Ironisnya, di tengah kelambanan ini, masyarakat justru diminta menyumbang Rp1.000 per hari.

Oleh Fadly Halim Hutasuhut (Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat)

Sejak diumumkan, Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu)—iuran Rp1.000/hari—menuai reaksi beragam. Moral dari gagasan ini jelas bagus: gotong royong. Namun, pertanyaan besar segera muncul: mengapa rakyat lagi yang diminta merogoh saku, ketika APBD dan APBN belum sepenuhnya disinergikan dan diserap tepat waktu?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di tengah kondisi masyarakat yang sudah rutin membayar pajak, solusi yang paling masuk akal seharusnya adalah menutup kebocoran dan mempercepat serapan anggaran, bukan menambah kanal iuran yang rentan dikhawatirkan dan disalahpahami.

Anggaran Daerah yang Selalu Terlambat

Fakta klasik kembali muncul: serapan anggaran daerah cenderung rendah di semester pertama, lalu melonjak tajam di akhir tahun. Pola ini berulang di berbagai provinsi, termasuk Jawa Barat. Program strategis yang seharusnya dirasakan rakyat sejak awal, sering tertunda karena anggaran mengendap di kas daerah.

Ironisnya, di tengah kelambanan ini, masyarakat justru diminta menyumbang Rp1.000 per hari. Pertanyaan sederhana pun bergema: mengapa anggaran yang sudah ada tidak lebih dulu dimaksimalkan?

Tugas Prioritas Seorang Gubernur

UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan: gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah sekaligus kepala daerah provinsi. Artinya, fungsi utamanya adalah memastikan perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan APBD berjalan tepat sasaran.

Bukan sekadar menginisiasi iuran, gubernur seharusnya memimpin konsolidasi anggaran lintas level—dari pusat, provinsi, kabupaten, hingga desa—agar sinkron dan tepat guna. Tanpa itu, program sering hanya menjadi formalitas di atas kertas.

Kepercayaan Publik dan Bayangan KKN

Kepercayaan publik menjadi persoalan lain yang tak kalah penting. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2024 hanya 34/100, menurun dari tahun sebelumnya. Kasus penyelewengan dana publik dan praktik rente masih kerap menghiasi berita.

Dalam konteks ini, wajar bila sebagian masyarakat sinis ketika diminta iuran tambahan. Yang dibutuhkan rakyat bukan Rp1.000 per hari, melainkan jaminan bahwa uang pajak dan APBD benar-benar direncanakan serta digunakan untuk kepentingan mereka.

“Rakyat bersedia bergotong royong, jika yakin uang publik dikelola dengan bersih, transparan, dan adil.”

Refleksi: Sistem, Bukan Iuran

Masyarakat Jawa Barat tentu mampu menyumbang, bahkan di desa sekalipun. Tetapi substansinya bukan di jumlah rupiah yang terkumpul. Gotong royong tak boleh menjadi substitusi atas lemahnya tata kelola anggaran.

Tugas prioritas gubernur—dan pemerintah daerah pada umumnya—adalah memastikan bahwa anggaran yang ada benar-benar direncanakan dengan baik, diserap tepat waktu, dan menyentuh kebutuhan rakyat. Tanpa itu, iuran sekecil apa pun akan kehilangan makna, bahkan berisiko menambah skeptisisme publik.

Bukan kami tidak mau menyumbang. Tapi jangan biarkan iuran menjadi tameng atas kegagalan memaksimalkan anggaran yang sudah ada. Sinergi dan integritas anggaran jauh lebih penting daripada seribu rupiah per hari.

 

 

Malang, 15 September 2025

 

 

Fadly Halim Hutasuhut

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
sanggar rainbow

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler